Admin
21 April 2025
KEJAKSAAN NEGERI BLORA
Di tengah geliat demokrasi dan era keterbukaan informasi, peran wartawan makin strategis. Namun kasus yang mencuat di Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora, Kamis (17/4/2025), justru memperlihatkan sisi gelap profesi ini. Seorang oknum pekerja media diduga memanfaatkan atribut pers untuk melakukan pemerasan terhadap pedagang bensin eceran, memicu kecaman luas dari masyarakat dan pemangku kepentingan daerah.
Peristiwa itu bermula saat oknum mengaku wartawan dari media lokal mendatangi seorang pedagang bensin eceran. Dengan dalih investigasi praktik ilegal, ia melakukan intimidasi verbal dan menuntut imbalan agar berita tidak dinaikkan atau kasus tidak diseret ke aparat hukum. Uang diminta sebagai “uang damai”. Korban, yang memilih identitasnya dirahasiakan, mengaku terkejut dan merasa takut. Bukan hanya karena tekanan, tetapi juga karena tidak memahami prosedur hukum atau haknya sebagai warga sipil yang berusaha mencari nafkah. “Saya pikir dia wartawan beneran. Pakai ID dan bawa kamera. Tapi lama-lama kok nadanya mengancam,” ujarnya.
Temuan lapangan menunjukkan, modus semacam ini bukan kali pertama terjadi di wilayah Blora. Beberapa narasumber menyebutkan bahwa ada pola serupa di sejumlah kecamatan lain, di mana pedagang kecil, pemilik warung, hingga lembaga pendidikan, menjadi target oknum-oknum yang memanfaatkan profesi wartawan untuk mencari keuntungan pribadi. Seorang mantan wartawan senior Blora yang tidak ingin disebutkan namanya menegaskan, “Ada pergeseran nilai. Dulu, wartawan idealis. Sekarang, banyak yang hanya berbekal ID card tanpa organisasi jelas, lalu menyasar masyarakat yang tidak paham.”
Mbah Munaji, Ketua Pemuda Pancasila Kabupaten Blora, menjadi salah satu pihak yang paling vokal. Ia mengecam keras tindakan oknum tersebut dan mendesak aparat serta organisasi pers untuk bersikap tegas. “Ini bukan sekadar pelanggaran etik. Ini kriminal. Jangan sampai rakyat kecil diintimidasi oleh mereka yang seharusnya menjadi penyampai kebenaran,” ujar Mbah Munaji. Ia juga menyatakan bahwa organisasi kemasyarakatan siap mendampingi korban jika kasus ini berlanjut ke ranah hukum. “Kami ingin jurnalis Blora dihormati karena karya, bukan ditakuti karena ancaman,” lanjutnya.
Kapolres Blora, melalui Kasat Reskrim Selamet SH, MH menyatakan bahwa laporan telah diterima dan sedang ditangani oleh unit Reskrim. Pihaknya juga mengonfirmasi telah mengamankan beberapa barang bukti, termasuk rekaman percakapan dan tangkapan layar pesan yang diduga menjadi bagian dari pemerasan. “Kami akan pastikan proses ini transparan. Jika memang terbukti ada unsur pemerasan, pelaku akan dijerat sesuai hukum pidana,” ujarnya.
Kasus ini bukan hanya tentang satu individu, melainkan tentang krisis etik yang perlahan menggerogoti wajah jurnalisme di daerah. Maraknya media abal-abal tanpa badan hukum, wartawan tanpa pelatihan, dan minimnya pengawasan dari organisasi profesi menjadi lahan subur bagi penyalahgunaan. Di sisi lain, rendahnya literasi hukum dan media masyarakat membuat mereka menjadi sasaran empuk. Tak tahu membedakan mana jurnalis profesional dan mana penunggang gelap identitas pers.
Menurut data Dewan Pers, dari sekitar 43.000 media yang mengklaim status daring di Indonesia, hanya sekitar 2.000-an yang terverifikasi. Sisanya berpotensi menjadi media abal-abal jika tidak memiliki badan hukum dan tanggung jawab redaksi. Kasus Ngawen ini menjadi cermin. Bukan sekadar tentang dugaan pemerasan, tapi tentang pertarungan antara integritas dan oportunisme dalam tubuh media. Ketika wartawan menjual ancaman, bukan kebenaran, maka profesinya tak lebih dari bayang-bayang kekuasaan yang menindas. Masyarakat, ormas, dan aparat harus bersatu untuk menjaga agar profesi ini tetap suci. Karena di tangan wartawanlah, kepercayaan publik bisa dibangun — atau dihancurkan.