Admin
09 April 2025
KEJAKSAAN NEGERI BLORA
Dunia pendidikan di Kabupaten Blora tengah menghadapi tantangan serius.
Sebanyak 902 guru dibutuhkan untuk mengisi kekosongan di berbagai jenjang, mulai dari sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP).
Namun, di tengah regulasi ketat terkait pelarangan pengangkatan guru honorer, persoalan ini belum kunjung menemukan solusi pasti.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Blora, Sunaryo, membeberkan bahwa berdasarkan data terbaru hasil pemetaan internal, Blora kekurangan hampir seribu guru aktif.
Padahal, kebutuhan akan tenaga pengajar semakin mendesak seiring berjalannya tahun ajaran.
"Perhitungan kami, Blora kurang 902 guru dari SD hingga SMP. Tapi sejak Maret, sesuai Surat Edaran (SE) Bupati, tidak boleh lagi ada guru honorer baru," jelas Sunaryo.
Kondisi ini tak lepas dari ketentuan pemerintah pusat yang menetapkan hanya dua jenis status pegawai yang sah di lingkungan sekolah negeri: Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Artinya, sekolah-sekolah kini tidak lagi diperbolehkan merekrut guru honorer, meski di lapangan kebutuhan mereka masih sangat tinggi.
Sunaryo mengakui bahwa regulasi ini menimbulkan dilema, karena kenyataan di lapangan berbeda jauh dengan ketentuan administratif.
Banyak sekolah, terutama yang berada di pedesaan atau wilayah pelosok, hanya memiliki satu hingga dua guru aktif, padahal jumlah rombongan belajar cukup banyak.
Menghadapi kondisi darurat ini, Dinas Pendidikan Blora menerapkan sejumlah strategi jangka pendek.
Salah satunya adalah redistribusi guru dari sekolah yang dinilai memiliki kelebihan tenaga pengajar, ke sekolah lain yang mengalami kekurangan ekstrem.
“Kami lakukan penataan. Sekolah yang gurunya lebih banyak kami geser ke sekolah yang kekurangan,” ujar Sunaryo.
Selain redistribusi, Disdik juga melakukan optimalisasi tenaga yang ada.
Guru-guru yang sebelumnya bertugas di unit penunjang seperti perpustakaan atau laboratorium, kini mulai ditugaskan juga sebagai guru kelas atau guru mata pelajaran, guna menambal kekosongan di ruang-ruang belajar.
Solusi lain yang tengah dikaji serius adalah skema pembiayaan guru dari dana komite sekolah.
Mengacu pada Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, disebutkan bahwa komite dapat menerima sumbangan dari masyarakat guna menunjang operasional pendidikan, termasuk untuk membiayai guru tidak tetap.
“Kami mencoba berkoordinasi dengan berbagai stakeholder. Kalau memungkinkan, guru yang tidak berstatus PNS atau PPPK bisa dibiayai lewat komite sekolah,” ungkap Sunaryo.
Skema ini memang membuka peluang baru. Dana komite bisa berasal dari orang tua siswa, CSR perusahaan, hingga sumbangan sukarela dari masyarakat atau dunia usaha.
Namun demikian, implementasinya masih perlu dibahas lebih lanjut, termasuk kemungkinan payung hukum melalui Peraturan Bupati (Perbup) atau kebijakan daerah lainnya.
Pihak Disdik bersama Komisi D DPRD Blora, BPPKAD, dan sejumlah instansi terkait kini terus membahas opsi ini.
Tantangan utamanya adalah menghindari pungutan liar, serta menjaga transparansi dan akuntabilitas dana yang dikelola oleh komite sekolah.
Sebagai bagian dari solusi jangka panjang, Dinas Pendidikan Blora pada awal Maret 2025 telah mengajukan formasi PPPK guru ke pemerintah pusat. Rencana ini diharapkan bisa mengisi sebagian kekosongan guru di tahun ajaran berikutnya.
Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), tahun 2025 diproyeksikan menjadi tahun rekrutmen terbesar untuk PPPK guru, guna mendukung target penyelesaian masalah guru honorer secara nasional pada 2026.
Namun demikian, realisasi jumlah formasi yang disetujui pusat masih menunggu verifikasi lebih lanjut.
Kekurangan guru bukan persoalan baru di Blora.
Data sebelumnya menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, jumlah guru PNS terus menurun karena banyaknya yang pensiun, sementara rekrutmen belum mampu mengimbangi kebutuhan.
Tahun 2024 lalu, Blora juga mengalami kekurangan hampir 800 guru, namun sebagian tertolong oleh rekrutmen PPPK tahap 3.
Sayangnya, bagi sekolah yang berada di wilayah pelosok, pengisian formasi tetap menjadi tantangan.
Banyak guru yang memilih tidak mengambil penempatan di daerah terpencil karena alasan akses dan fasilitas.
Kondisi kekurangan guru di Kabupaten Blora menuntut langkah progresif dari seluruh pihak. Larangan rekrutmen honorer memang menjadi komitmen pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tenaga kerja non-ASN secara nasional.
Namun, implementasinya di daerah harus dibarengi dukungan anggaran dan kebijakan transisi yang konkret.
Solusi seperti redistribusi dan skema pembiayaan dari komite sekolah memang bisa menambal sementara.
Namun, pemerintah pusat juga dituntut lebih sigap dalam menyetujui formasi PPPK tambahan, terutama untuk wilayah yang krisis guru seperti Blora.
Jika tidak, dunia pendidikan Blora akan terus dibayang-bayangi darurat tenaga pendidik — sebuah ironi di tengah gencarnya kampanye pendidikan merata dan berkualitas di seluruh Indonesia.