Admin
03 Oktober 2025
KEJAKSAAN NEGERI BLORA
Pabrik Gula (PG) Gendhis Multi Manis (GMM) Blora, Jawa Tengah, membuat keputusan menutup penggilingan lebih awal dari jadwal karena ada kerusakan mesin boiler. Akibat keputusan ini, para petani merugi mengingat masih banyak tanaman tebu yang belum dipanen. Terkait dengan kondisi ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menegaskan akan mengawal persoalan batal giling tebu petani karena berhentinya operasional PG GMM di Todanan akibat kerusakan mesin boiler. ”Kami tidak ingin petani terus jadi korban. Kalau memang harus beli boiler baru, keputusan harus segera diambil. Minggu depan kami jadwalkan bertemu wakil menteri, bahkan menteri, agar ada solusi cepat,” kata Ketua DPRD Blora Mustopa, dilansir dari Antara Jateng, Kamis (2/10/2025).
Manajemen PG GMM sebelumnya mengumumkan penerimaan tebu terakhir hanya sampai Rabu (24/9/2025), pukul 24.00 WIB. Pengumuman mendadak itu memicu protes puluhan petani yang mendatangi pabrik pada Jumat (26/9/2025), untuk meminta penjelasan resmi. Dengan adanya tekanan dari DPRD, petani berharap pemerintah pusat segera turun tangan agar keberlangsungan penggilingan tebu di Blora tidak terhenti total. Seperti diketahui, lebih dari 1.500 hektare tanaman tebu di sekitar GMM saat ini belum bisa ditebang akibat berhentinya proses giling. Penghentian itu terjadi karena kedua unit boiler pabrik mengalami kebocoran pipa yang tidak bisa diatasi dalam waktu singkat.
Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Blora Sunoto mengatakan kecewa terhadap manajemen GMM. Menurut dia, penempatan teknisi nonahli di bagian vital pabrik memperparah kondisi hingga boiler berulang kali rusak. “PG itu jantungnya ada di boiler. Tapi teknisi boiler diganti orang yang bukan ahlinya. Sekarang petani yang jadi korban,” ujar dia, saat audiensi di DPRD Blora. Senada dengan Sunoto, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Blora Kusnanto juga menyoroti lemahnya kesiapan pabrik sejak awal berdiri. “Mesin boiler yang dipakai GMM memang bermasalah. Kalau sudah tua dan tidak layak, seharusnya ada solusi sejak awal. Jangan sampai petani yang menanggung kerugian,” katanya.
Pelaksana Tugas Direktur Utama PT GMM Sri Emilia Mudiyanti mengakui usia boiler yang sudah dipakai sejak 2010 membuat kerusakan berulang. Ia mengatakan perusahaannya telah menjalin kerja sama darurat dengan PG Rendeng dan PG Trangkil untuk menyerap sebagian tebu petani. ”Kami mohon maaf kepada petani karena tidak bisa menyerap seluruh tebu. Kami siapkan fasilitas tambahan berupa jembatan timbang dan transportasi ke pabrik lain,” katanya, menjelaskan. Meski begitu, para petani tetap cemas karena khawatir kualitas tebu menurun jika terlalu lama tidak digiling. Kerugian ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah, dengan rata-rata nilai satu truk tebu sekitar Rp 5 juta.