Admin
03 Oktober 2025
KEJAKSAAN NEGERI BLORA
Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Blora, Sunoto, menyampaikan kekecewaannya terhadap kebijakan manajemen pabrik yang dinilai tidak tepat. Hal ini menyusul berhentinya operasional Pabrik Gula (PG) Gendhis Multi Manis (GMM) di Todanan akibat kerusakan mesin boiler. Kondisi ini memicu keresahan petani tebu karena menyangkut ribuan hektare tanaman tebu milik petani di Kabupaten Blora terancam tidak bisa digiling. Menurutnya, permasalahan terjadi lantaran penempatan personel non-ahli di bagian vital pabrik. "PG itu jantungnya ada di boiler. Tapi teknisi boiler diganti orang yang bukan ahlinya. Akibatnya berulang kali mengalami kerusakan, dan sekarang petani tebu yang jadi korban. Ada sekitar 1.500 hektare tebu di sekitar GMM yang belum bisa ditebang," tegas Sunoto saat audiensi dengan DPRD Blora, Rabu, 1 Oktober 2025.
Sunoto menambahkan, jika manajemen GMM tidak mampu memperbaiki masalah secara profesional, sebaiknya menyerahkan pengelolaan kepada pihak yang lebih kompeten. Ia bahkan siap membawa persoalan ini hingga ke pemerintah pusat. Senada, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Blora, Kusnanto, juga menilai persoalan ini sangat serius. Ia menyinggung sejak awal keberadaan PG GMM sudah menuai kontroversi, mulai dari proses pembebasan lahan hingga kualitas mesin pabrik. "Mesin boiler yang dipakai GMM memang bermasalah. Petani sudah menanam sejak lama, tapi saat panen justru ditelantarkan. Kalau mesin ini sudah tua dan tidak layak, harusnya ada solusi sejak awal. Jangan sampai petani yang menanggung kerugian," ujarnya.
Ketua DPRD Blora, Mustofa, memastikan pihaknya akan mengawal persoalan ini hingga ke tingkat kementerian. Ia mendorong adanya komunikasi intensif dengan Kementerian BUMN maupun Kementerian Pertanian. "Kalau memang harus beli boiler baru, ya harus segera diputuskan. Minggu depan kita jadwalkan bertemu wakil menteri, bahkan menteri, agar ada solusi cepat. Jangan sampai petani terus jadi korban," kata Mustofa. Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Utama PT GMM, Sri Emilia Mudiyanti, membenarkan adanya gangguan teknis serius pada mesin boiler. Menurutnya, usia boiler yang telah dipakai sejak 2010 menyebabkan kerusakan berulang. “Kami sudah berupaya memperbaiki, tapi kondisinya memang sudah terlalu tua. Kami mohon maaf kepada petani karena tidak bisa menyerap seluruh tebu. Sebagai langkah darurat, kami menjalin kerja sama dengan pabrik gula di sekitar Blora untuk membantu menyerap tebu petani,” jelasnya.
la menambahkan, GMM telah berkoordinasi dengan PG Rendeng dan PG Trangkil untuk menampung sebagian tebu dari Blora. GMM juga menyiapkan fasilitas tambahan berupa jembatan timbang dan transportasi agar petani dapat mengangkut hasil panennya ke pabrik lain. Meski demikian, para petani masih diliputi kecemasan karena khawatir kualitas tebu menurun jika terlalu lama tidak digiling. Mereka mendesak agar pemerintah daerah, DPRD, dan manajemen GMM segera menuntaskan persoalan ini dengan solusi nyata, bukan sekadar janji. Salah satu petani, Winarsih, mengaku masih memiliki 10 hektare tebu yang belum ditebang. Ia menambahkan, ratusan hektare tebu milik petani penyangga juga masih tegak di lahan.
Kerugian diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah, dengan nilai rata-rata satu truk tebu sekitar Rp5 juta. Petani menilai keputusan penghentian giling tanpa pemberitahuan jauh-jauh hari sangat merugikan. Sebelumnya, manajemen PG GMM mengumumkan penerimaan tebu terakhir hanya sampai Rabu, 24 September 2025 pukul 24.00 WIB akibat kerusakan mesin boiler. Pengumuman mendadak itu memicu protes, sekitar 25–30 petani mendatangi pabrik pada Jumat, 26 September 2025 pagi untuk meminta penjelasan resmi. Gangguan disebabkan kebocoran pipa pada kedua unit boiler yang tidak bisa diatasi dalam waktu singkat. Dengan kondisi tersebut, manajemen akhirnya sepakat menutup giling pada 25 September 2025, dengan penerimaan tebu terakhir pada 24 September pukul 24.00 WIB.