Admin
22 September 2025
KEJAKSAAN NEGERI BLORA
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyoroti polemik surat perjanjian dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Blora. Ia menyatakan akan melakukan klarifikasi langsung kepada Badan Gizi Nasional (BGN) terkait sejumlah perjanjian yang dianggap memberatkan pihak sekolah. "Ya kita akan klarifikasi dengan BGN ya. Menurut saya kalau ada sistem pengawasan baik, dan transparan, akuntabel, tujuannya untuk memperbaiki sistem di dapur harus kita informasikan,” kata Edy usai menggelar sosialisasi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) di Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Minggu, 21 September 2025.
Sebelumnya, DPRD Blora telah memanggil Koordinator Wilayah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Blora untuk meminta penjelasan atas isi perjanjian antara SPPG dan sejumlah sekolah. Bahkan, DPRD meminta agar perjanjian tersebut dicabut karena dinilai mengandung sejumlah poin bermasalah. Salah satu poin yang disorot adalah kewajiban ganti rugi sebesar Rp 80 ribu per paket alat makan yang rusak atau hilang. Selain itu, terdapat poin yang mewajibkan pihak penerima manfaat menjaga kerahasiaan apabila terjadi kejadian luar biasa, seperti kasus keracunan makanan. Menanggapi hal tersebut, Edy menilai bahwa kritik terhadap program pemerintah merupakan hal wajar dan justru penting untuk perbaikan sistem. “Kalau tidak ada umpan balik dari bawah, malah kita tidak dapat memperbaiki sistem," ujarnya.
Namun, Edy mengingatkan agar informasi yang berkembang di masyarakat harus tetap proporsional dan bisa dipertanggungjawabkan."Ya tahu sendirilah media sosial, kadang-kadang berlebihan. Kemudian merusak citra, itu yang harus kita hindari," katanya. "Informasinya konstruktif untuk evaluasi, menurut saya bagus untuk transparan," tambahnya. Terkait masalah ganti rugi alat makan, Edy menyarankan agar persoalan tersebut dibicarakan secara baik-baik antara pihak sekolah dan SPPG. Ia menolak jika beban tersebut justru dialihkan ke pihak penerima manfaat. "Kalau ada kehilangan alat ya itu dibicarakan yang baik lah ekosistemnya, antara SPPG dengan pihak sekolah," ujarnya. "Keluhannya kan banyak alat-alat yang hilang, tapi hilangnya ke mana, lalu harus nyari lagi. Tapi kalau sampai membebani sekolah, menurut saya jangan lah," tegas Edy.
Selain polemik perjanjian, Edy juga menyoroti tantangan dalam ketersediaan sumber daya manusia, khususnya ahli gizi, untuk menunjang program MBG. Ia menyebut target pemerintah untuk menyediakan 30 ribu ahli gizi dalam waktu satu tahun sangat sulit tercapai. "Tapi memang jumlah ahli gizi saya pantau itu tidak mencukupi. Jumlah pendidikan ahli gizi di Indonesia itu terbatas. Saya prediksi kalau dalam waktu 1 tahun, harus menyediakan 30 ribu ahli gizi, pada titik tertentu saya prediksi akan kesulitan untuk terpenuhi," jelasnya. Sementara itu, Koordinator Wilayah SPPG Blora, Artika Diannita, membantah bahwa pihaknya berupaya menyembunyikan isi perjanjian. Ia menegaskan bahwa penyelesaian kasus-kasus di lapangan dilakukan melalui pelaporan internal ke layanan kesehatan.
“Bukan merahasiakan, tapi kita melaporkan ke SPPG, langsung ke pelayanan kesehatan,” kata Artika usai audiensi dengan DPRD Blora, Kamis, 18 September 2025. Poin-poin yang menjadi sorotan dalam perjanjian antara SPPG dan sekolah tercantum pada poin kelima dan ketujuh dari sembilan poin yang disepakati dua belah pihak. Poin kelima menyebut adanya kewajiban membayar ganti rugi atas alat makan yang rusak atau hilang. Sedangkan poin ketujuh berisi kesepakatan menjaga kerahasiaan apabila terjadi kejadian luar biasa.