Admin
26 Juni 2025
KEJAKSAAN NEGERI BLORA
Polemik pendirian kampus UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) di Kabupaten Blora kembali mencuat, salah satunya dipicu pernyataan mantan Bupati Blora, Yudhi Sancoyo. Dalam sebuah forum, ia menolak rencana pembangunan kampus UNY dengan alasan lembaga tersebut tidak memiliki “nilai historis” di Blora. Ia juga menyatakan kekhawatirannya bahwa kehadiran kampus negeri dari luar bisa mematikan perguruan tinggi lokal seperti STTR Cepu.
Saya memandang pernyataan itu sah sebagai bagian dari diskursus publik. Namun bila dibiarkan menjadi narasi tunggal, justru bisa menyempitkan imajinasi kita tentang masa depan pendidikan tinggi Blora. Sejak awal, banyak pihak tidak serta-merta menolak maupun menerima sepenuhnya kehadiran UNY. Saya pribadi telah menyampaikan pandangan yang menawarkan jalan tengah: pentingnya mempertimbangkan lokasi yang tidak bergesekan langsung dengan PTS lokal, hibah yang bersyarat dan bertahap, serta pentingnya membangun kolaborasi antara kampus negeri dan institusi lokal. Namun secara khusus, dua hal dalam pernyataan Pak Yudhi layak dikritisi secara jernih: soal “nilai historis”, dan soal analogi Alfamart–Indomaret.
Pendidikan Tinggi Tidak Harus Berakar Sejarah Lokal
Apakah setiap kampus negeri yang berdiri di daerah harus punya akar sejarah di sana? Tidak juga. Universitas Tidar (UNTIDAR) di Magelang awalnya adalah PTS sejak 1979, kemudian berubah menjadi PTN pada 2014 melalui Perpres No. 23/2014. Begitu pula UPN Veteran Yogyakarta, yang sebelumnya berstatus PTS dan akhirnya dinegerikan melalui Perpres No. 121/2014.
Kedua contoh ini menunjukkan bahwa sejarah bukanlah prasyarat mutlak untuk mendirikan atau melegitimasi kampus negeri. Justru kehadiran perguruan tinggi negeri sering kali menjadi tonggak baru sejarah itu sendiri. Maka, alih-alih mempertanyakan “kenapa UNY?”, seharusnya yang ditanyakan adalah: “apa yang bisa dibangun UNY untuk generasi Blora ke depan?”
Analogi “Alfamart–Indomaret”
Dalam pernyataannya, Pak Yudhi juga mengibaratkan kehadiran UNY sebagai “masuknya Alfamart dan Indomaret” yang akan mematikan toko-toko kecil di Blora. Analogi ini menarik, tetapi bisa ditafsirkan secara lebih jernih dan objektif.
Faktanya, hari ini kita melihat swalayan besar seperti Luwes berdiri di Blora tanpa membuat Alfamart dan Indomaret gulung tikar. Bahkan, toko kelontong di desa-desa tetap bertahan dan beradaptasi karena menawarkan layanan yang khas dan dekat dengan warga. Artinya, bukan keberadaan pelaku besar yang otomatis mematikan yang kecil, tapi ketiadaan kebijakan afirmatif, pendampingan, dan keberpihakan yang membuat usaha lokal tersingkir.
Begitu pula dalam dunia pendidikan tinggi. Kehadiran kampus negeri tidak otomatis mematikan PTS lokal. Justru yang lebih menentukan adalah: apakah pemerintah hadir untuk mengatur ekosistem yang sehat dan adil? Apakah ada ruang kolaborasi dan diferensiasi peran? Jika itu dilakukan, maka semua lembaga bisa bertumbuh bersama.
STTR Harus Diperkuat, Tapi Tidak dengan Menolak
Saya sepakat bahwa STTR Cepu salah satu PTS teknik tertua di kawasan Blora harus diperkuat. Tapi penguatan itu bukan berarti menutup pintu bagi lembaga lain. Bahkan sekarang adalah momen terbaik untuk mendorong terobosan lebih progresif: mengapa tidak mengusulkan STTR Cepu menjadi perguruan tinggi negeri, Universitas Negeri Cepu misalnya?
Belajar dari kasus UNTIDAR dan UPN Veteran, penegerian PTS adalah langkah yang mungkin secara hukum dan regulasi. Sepanjang memenuhi standar kelembagaan dan mendapat dukungan pemerintah daerah serta pusat, status negeri dapat dicapai. Bila ini ditempuh, maka kehadiran UNY justru bisa menjadi pemicu kebangkitan STTR, bukan ancamannya.
Menemukan Jalan Tengah yang Adil
Pertarungan gagasan antara “menolak UNY” versus “menolak PTS lokal dilupakan” sebenarnya bisa dijembatani. Yang diperlukan adalah:
Jika semua pihak bisa menanggalkan ego institusional dan membuka ruang kolaborasi, maka bukan mustahil Blora menjadi salah satu kabupaten dengan ekosistem pendidikan tinggi paling sehat di Jawa Tengah.
Sejarah Itu Bisa Kita Ciptakan
Kita tidak boleh melupakan masa lalu, tapi jangan jadikan masa lalu sebagai tembok penghalang masa depan. Generasi muda Blora butuh lebih banyak akses pendidikan tinggi, bukan lebih banyak konflik elit tentang siapa yang paling berjasa. Jika hari ini UNY hadir dan besok STTR bisa menjadi PTN, maka hari ini justru kita sedang menulis bab baru tentang sejarah pendidikan Blora bersama.
Pada akhirnya, bukan soal siapa lebih dulu. Tapi siapa yang berani melangkah maju. Karena sejarah tidak harus diwariskan. Sejarah juga bisa diciptakan.