Admin
16 Juni 2025
KEJAKSAAN NEGERI BLORA
Setiap kali ada pelatihan atau sosialisasi pertanian organik, pertanyaan yang nyaris selalu muncul dari petani adalah: “Apa untungnya, Mas? Dibanding cara biasa, lebih menguntungkan mana?” Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan slogan atau ajakan moral. Petani bukan anti-perubahan, tapi mereka logis. Mereka berhitung. Dan itu wajar. Seringkali pendekatan promosi organik terlalu menekankan idealisme: tentang kesehatan, lingkungan, dan masa depan anak cucu. Itu tidak salah. Semua itu penting, tapi tidak cukup. Bagi petani kecil, keputusan untuk mengubah sistem budidaya adalah keputusan ekonomi yang berisiko. Maka, kita perlu menjawab pertanyaan mereka dengan data dan contoh yang nyata, bukan sekadar ajakan. Pertanian Organik vs Konvensional: Mana yang lebih Menguntungkan? Ini Kata Riset. Beberapa studi akademik di Indonesia telah membuktikan bahwa sistem pertanian organik secara ekonomi dapat menguntungkan—bukan hanya dari sisi keberlanjutan, tapi juga secara finansial. Studi Widyaningsih et al. (2023) di Jawa Timur menemukan bahwa biaya input petani organik lebih rendah 17–22% dibanding petani konvensional. Hal ini disebabkan karena petani organik tidak tergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang harganya fluktuatif. Meskipun hasil panen organik sedikit lebih rendah di awal, margin keuntungan bersih tetap kompetitif. Bahkan dalam lima musim tanam berturut-turut, petani organik menunjukkan kecenderungan pendapatan yang lebih stabil. Data BPS dan Kementerian Pertanian (2022) juga mencatat bahwa di wilayah dengan komunitas petani organik yang terorganisir, harga jual gabah bisa 10–15% lebih tinggi dari rata-rata. Ini terjadi karena adanya diferensiasi produk dan jaringan pasar yang terbangun, termasuk pengemasan dan pemasaran kolektif.
Ketapang: Kisah Nyata dari Desa yang Bertahan
Salah satu contoh paling menarik datang dari Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Komunitas petani di sana, yang tergabung dalam kelompok Al-Barokah, sudah menekuni pertanian organik sejak lebih dari dua dekade lalu. Mereka bukan hanya berhasil mempertahankan sistem ini, tapi juga menjadikannya sumber pendapatan yang layak. Riset Galih Pratama (UNNES, 2018) mencatat bahwa keberhasilan Al-Barokah tidak hanya disebabkan oleh teknik budidaya, tapi juga kelembagaan sosial yang mereka bangun. Pendampingan teknis, pelatihan berkala, dan sistem distribusi yang terorganisir menjadikan pertanian organik bukan sekadar alternatif, tapi model ekonomi komunitas yang hidup. Penelitian Nisa Salma dkk. (2024) menemukan bahwa 97% petani di Ketapang aktif menjalankan praktik organik dan menunjukkan kepatuhan tinggi terhadap standar nasional (SNI). Faktor-faktor seperti luas lahan, pengalaman bertani, serta frekuensi penyuluhan berpengaruh signifikan terhadap produktivitas. Sementara itu, riset Mayasari Rahayu (UKSW, 2020) membandingkan pendapatan petani organik dan non-organik di desa ini. Hasilnya, petani organik memiliki pendapatan lebih stabil dan risiko usaha yang lebih rendah. Ini karena mereka tidak tergantung pada fluktuasi harga pupuk atau pestisida serta sudah memiliki pasar tersendiri. Putra dan Santosa (UNDIP, 2016) menambahkan bahwa modal sosial seperti kepercayaan antarpetani, kebiasaan gotong royong, dan nilai bersama memegang peran penting dalam keberhasilan ini. Pertanian organik tumbuh di Ketapang bukan karena proyek pemerintah, tetapi karena tumbuhnya kesadaran dan solidaritas kolektif. Berorganik Tidak Harus “Sertifikasi Dulu” Banyak petani enggan beralih karena mengira pertanian organik itu rumit: harus tersertifikasi, punya pasar ekspor, dan modal besar. Padahal pendekatan bertahap seperti low external input sustainable agriculture (LEISA) bisa menjadi jembatan. Petani bisa mulai dengan mengganti pupuk kimia secara bertahap, memanfaatkan bahan lokal, dan mengurangi ketergantungan pada input dari luar. Jika ingin membangun ekosistem organik yang berkelanjutan, hal paling penting justru adalah membangun keyakinan petani: bahwa cara ini bisa dijalankan, hasilnya tidak kalah, dan dalam jangka panjang memberi keamanan pendapatan.
Menjawab Petani dengan Bukti, Bukan Janji
Pertanyaan “Apa untungnya?” adalah pintu masuk menuju dialog yang jujur. Petani tidak menolak perubahan, mereka hanya menunggu bukti. Maka tugas kita bukan meyakinkan dengan imbauan moral semata, tapi dengan contoh nyata, data yang meyakinkan, dan pendampingan yang konsisten. Desa Ketapang sudah membuktikan bahwa pertanian organik bisa jadi jalan hidup yang masuk akal secara ekonomi dan sosial. Riset-riset akademik sudah banyak membenarkannya. Sekarang tinggal bagaimana kita membawa pengetahuan itu ke lapangan, ke sawah-sawah yang sedang menunggu arah. Karena pada akhirnya, petani akan percaya bukan pada teori, tapi pada hasil.