Admin
12 Juni 2025
KEJAKSAAN NEGERI BLORA
Setiap kali kita menelusuri sejarah penemuan minyak bumi di Blora, selalu yang muncul adalah nama Andriaan Stoop, seorang berkebangsaan Belanda yang lahir pada 18 Oktober 1856. Di dada insinyur pertambangan tersebut, ‘tersemat’ tanda kehormatan sebagai penemu minyak bumi di wilayah Blora tahun 1880. Penemuan itu ditindaklanjuti dengan pengeboran pertama kalinya di desa Ledok tahun 1893 dengan hasil melebihi apa yang diprediksi sebelumnya. Informasi lain menerangkan bahwa Tjakranegara III, bupati Blora tahun 1886-1912, adalah tokoh yang mendorong dan mengizinkan Andriaan Stoop hingga akhirnya menemukan sumber minyak bumi di Blora tahun 1887.
Namun, buku sampul hitam karya Totok Supriyanto berjudul “Janjang, Saksi Bisu Minyak Bumi di Blora” yang terbit bulan Juni 2025 memaparkan data yang berbeda. Hasil ungkrah-ungkrah arsip yang dilakukan Totok menunjukkan bahwa pada tahun 1865 pemerintah kolonial mengirim surat edaran kepada para kepala daerah jajahan (asisten residen dan bupati) untuk memberikan keterangan lengkap tentang sumber minyak bumi beserta pemanfaatannya di wilayah masing-masing. Dari surat edaran tersebut terkumpul data bahwa di semua wilayah di karesidenan Rembang ditemukan sumber minyak, baik itu di Rembang, Tuban, Bojonegoro, dan Blora. Rembang ditemukan di desa Tahunan, Tuban di desa Dagangan, Bojonegoro di desa Dandangilo dan Dringes, sementara dari Blora ditemukan di desa Pahingan (Ledok), Sendang, dan Plantungan.
Dalam hal ini, ada yang istimewa dari keberadaan minyak bumi di Blora, yakni penyebarannya yang lebih luas mencakup tiga desa. Lebih dari itu, di tiga kabupaten selain Blora tidak diketahui pemanfaatan dari minyak bumi tersebut, sementara di Blora sudah terjelaskan bahwa latung sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk bahan penerangan, bahan pengobatan sakit kulit, dan bahan sambungan papan pembuatan perahu. Dari data tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kolonial sudah menemukan/memiliki data tentang potensi minyak bumi di Blora sebelum kedatangan Andriaan Stoop, tepatnya pada tahun 1865 di masa Blora dipimpin bupati Tjakranegara II (1857-1886).
Dalam hal pemanfaatan minyak bumi di Blora, Totok Supriyanto menunjukkan dua sumber arsip lokal, yakni catatan perjalanan yang dilakukan oleh seorang bupati Kudus bernama Condronegoro V berjudul “Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Lelono” dan manuskrip Janjang. Pada manuskrip yang pertama, sang pengelana memberi persaksian bahwa minyak bumi di Blora sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk beberapa keperluan, yakni untuk bahan penerangan, obat penyakit kulit, juga ada yang dijual ke luar daerah sebagai bahan perekat papan dalam pembuatan perahu. Sedangkan manuskrip Janjang memberi gambaran cara masyarakat mengambil latung dari sumbernya. Pengambilan latung dari sumbernya menggunakan beberapa perkakas tradisional, yaitu timba upih (semacam ember yang terbuat dari pelepah pinang), seikat alang-alang untuk memisahkan latung dari air, juga bumbung bambu sebagai wadah latung untuk dibawa pulang. Pun sudah ada kesepakatan adat bahwa sumber minyak bumi yang muncul secara alami itu bisa dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat dengan pembagian tertentu.
Jika ditilik dari kacamata objek pemajuan kebudayaan (OPK), apa yang berlaku di sekitar sumber minyak bumi di Blora kala itu sudah terstruktur sebagai adat istiadat, yaitu tata kelola sumber minyak bumi yang sudah berjalan dengan baik. Di dalamnya ada pengetahuan tradisional, penguasaan seluk beluk terkait minyak bumi, baik itu dari pengambilan sampai pemanfaatannya, juga teknologi tradisional yakni penciptaan perkakas tertentu sebagai alat bantu. Tradisi yang dijalankan masyarakat yang hidup di sekitar sumber minyak bumi, baik itu berupa pengetahuan maupun kesepakatan-kesepakatan adat, membuktikan keberadaan sumber minyak bumi sudah dalam waktu lama menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Dari narasi di atas, jelas sekali bahwa minyak bumi yang berada di wilayah Blora sudah ditemukan dan dimanfaatkan oleh masyarakat jauh sebelum informasi tersebut terendus oleh pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian hari menjadi objek industrialisasi dimulai tahun 1893. Karenanya sangat naif ketika hampir semua narasi tentang sejarah penemuan minyak bumi di Blora ‘dipaksakan’ tersandang pada satu tokoh yakni Andriaan Stoop. Padahal dokumen sejarah, artefak, maupun cerita lisan bisa membuktikan bahwa penemuan tersebut berada di periode yang lebih tua