Admin
26 Mei 2025
KEJAKSAAN NEGERI BLORA
Blora, seperti banyak daerah lain, sedang berlomba menekan angka stunting. Data dari Dinkes Blora menyebutkan bahwa prevalensi stunting pada 2024 masih menyentuh angka 21,2 persen. Sebuah ironi memang, di tengah jargon ketahanan pangan yang kerap digaungkan. Tapi kini muncul harapan baru, bernama Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Namun, di balik semangat mulianya, MBG menyimpan catatan penting yang patut dikritisi: benarkah ini program sosial? Atau jangan-jangan ia justru menjelma menjadi semacam franchise dengan jubah kepedulian?
Siapa Membangun Apa?
Anggota DPR RI Edy Wuryanto menyebut kini sudah ada 12 dapur MBG di Blora. Tapi angka itu berbeda dengan pernyataan sebelumnya, yang menyebut baru 9. Sumber lain menyebut baru 7 yang betul-betul operasional. Terlepas dari perbedaan itu, targetnya, di Kabupaten Blora akan dibangun 50 dapur dengan sasaran 150.000 penerima manfaat. Satu dapur percontohan telah dibangun oleh pemerintah. Sisanya? Pihak ketiga: ormas, yayasan, bahkan individu dengan modal besar.
Tentu modalnya tidak kecil. Untuk membangun satu dapur MBG dari nol, estimasinya bisa tembus Rp4 miliar. Itu meliputi bangunan standar, peralatan masak dan makan, dua mobil untuk distribusi, hingga biaya operasional awal. Siapa yang mampu? Tentu bukan masyarakat kebanyakan. Maka, pertanyaannya: siapa yang diuntungkan?
Antara Subsidi dan Profit
Skema MBG cukup unik: dapur dibangun mandiri oleh mitra, tapi dengan jaminan pangsa pasar dari negara. Dana dari pemerintah yang awalnya disebut Rp15 ribu per porsi, kini dikoreksi oleh Ombudsman RI menjadi Rp10 ribu, ditransfer langsung per porsi makan yang disalurkan. Edy Wuryanto menyebut keuntungan mitra minimal bisa mencapai Rp100 juta per bulan. Dengan hitungan margin Rp2.000 per porsi dari 3.000 porsi per hari, angka itu bukan mustahil.
Di sini kita mulai melihat wajah MBG yang lain. Ini bukan sekadar program amal atau tanggung jawab negara, tapi juga lahan yang “menjanjikan”, jika dikelola dengan efisien. Maka, boleh jadi benar jika ada yang menyebut MBG sebagai franchise sosial. Negara memberi jaminan pasar, mitra menyiapkan modal dan dapur. Sebuah simbiosis, tapi tentu bukan tanpa risiko bias kepentingan.
Stunting, Sekolah, dan Sasaran yang Belum Jelas
Lebih problematik lagi adalah soal sasaran. Pernyataan Edy Wuryanto bahwa MBG menyasar anak sekolah sekaligus ibu hamil dan menyusui serta balita belum dibarengi fakta di lapangan yang menguatkan. Di Blora sendiri, dari sekian dapur yang sudah beroperasi, nyatanya MBG masih fokus menyasar anak-anak sekolah. Padahal jika dikaitkan dengan stunting, yang lebih mendesak justru intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan, yakni pada ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.
Inilah celah logis yang perlu dikritisi. Jangan sampai, program dengan niat menyehatkan justru gagal menyentuh kelompok paling rentan dan hanya menyehatkan arus kas mitranya.
Membuka Ruang Dialog
Apakah MBG salah? Tentu bukan soal salah atau benar. Tapi membiarkannya berjalan tanpa kritik sama saja menabur benih program yang kehilangan arah. Dapur-dapur MBG boleh terus dibangun. Tapi publik juga punya hak untuk bertanya: siapa yang membangun, siapa yang mengawasi, dan siapa yang paling diuntungkan?
Masyarakat berhak tahu, agar MBG bukan hanya hadir sebagai narasi gizi dan intervensi, tapi juga sebagai ruang sosial yang transparan dan adil.