Admin
29 April 2025
KEJAKSAAN NEGERI BLORA
Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku, memiliki potensi besar dari hasil alam, salah satunya adalah daun kelor. Namun, eksplorasi tanaman kelor yang tumbuh liar di daerah tersebut masih terbatas pada olahan sayur untuk konsumsi. Di tangan Jen Augry Warella, tanaman kelor di Bumi Kalwedo diolah menjadi penganan khas yang unik. Sejak 2019, Jen berhasil melahirkan produk unggulan seperti Kopi Kelor, Coklat Kelor, dan Jahe Merah Kelor. "Ide itu muncul setelah beta pulang studi banding dari kantor di Blora, Jawa Tengah." "Ada perusahaan yang punya produk coklat berbahan kelor, tetapi di sana tidak punya banyak tanaman kelor seperti di sini (MBD)," ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya di Ambon, Rabu (23/4/2025).
Setelah kembali dari Blora, Jen tergerak untuk mengolah tanaman kelor di MBD menjadi produk-produk menarik. Ia memperoleh bahan baku dari warga di daerah Kaiwatu dan Patti di Pulau Moa, di mana tanaman kelor tumbuh liar. "Saya bekerja sama dengan beberapa warga pemetik sebagai penyuplai," tambahnya. Berbekal oleh-oleh produk coklat dari Jawa Tengah, Jen melakukan perbandingan. Dia membuat coklat dari bahan kelor MBD dan membagikannya kepada staf di kantornya serta beberapa instansi pemerintah lainnya. "Ternyata, cita rasa coklat dari kelor MBD jauh lebih ringan dan enak. Kata teman-teman di kantor lebih enak, kalau yang dari Blora terlalu strong dan agak getir," ujarnya. Proses pengolahan yang dilakukan Jen melibatkan banyak koreksi dan uji coba, terutama dalam menyesuaikan rasa kelor agar tidak dominan. "Bagi warga MBD, kelor biasanya dimasak sebagai sayur. Rasanya sudah sangat familiar sebagai lauk di meja makan," tambahnya.
Setelah menemukan komposisi yang pas, Jen memantapkan proses pengolahan agar hasilnya awet dan berkualitas, dengan fokus pada pengeringan dan penggunaan pucuk muda kelor. Usaha yang dinamai Kelor Majen ini masih tergolong baru dan merupakan produk rumahan berskala kecil. Jen mengaku hanya mampu membeli bahan baku dari warga senilai Rp 300.000 per ikat besar, yang menghasilkan sekitar 500 gram bubuk kelor. "Sangat sedikit memang, apalagi prosesnya panjang. Bubuk itu masih harus diayak biar lebih halus," ungkapnya. Saat ini, Jen mampu memproduksi hingga 1 kilogram tepung kelor, yang dibagi untuk membuat masing-masing produk. Khusus untuk coklat, dia memberikan perhatian lebih, termasuk belajar cara membuat coklat yang enak dan tahan lama. Pada akhir 2019, Jen berkesempatan belajar di Belgia, negara yang terkenal dengan coklat. "Saat ke sana, beta curi-curi ilmu belajar supaya pulang bisa buat coklat yang enak," ujarnya.
Selama pandemi Covid-19 pada tahun 2020, Jen terus mengembangkan resep produk kelor miliknya. Produk yang dia bagikan sebagai promosi kini sering dijadikan oleh-oleh dan ikut pameran. "Yang paling banyak dimintai adalah coklat dan jahe merah kelor. Biasanya dalam pameran, produk itu yang paling laris," ujar Jen. Untuk produk Kopi Kelor, ia mengemasnya dalam botol kaca hexagonal ukuran 150 ml seharga Rp 250.000. Jen mencampur kelor dengan kopi robusta dari pelaku UMKM di Jawa Timur untuk menghasilkan kopi yang enak. Sementara untuk Jahe Merah Kelor, harganya juga Rp 250.000 per 150 ml dan Coklat Kelor dijual per-cup isi enam potong seharga Rp 60.000. Selain itu, terdapat produk turunan kelor lainnya seperti Teh Kelor yang dijual per-cup isi lima tea bag seharga Rp 30.000. Jen mengakui masih banyak kekurangan, terutama dalam kapasitas produksi dan jangkauan pemasaran yang masih terbatas.
Namun, keseriusannya terhadap usaha ini tidak main-main. Kelor Majen telah memiliki izin PIRT dan keamanan makanan, dan saat ini Jen tengah mengurus sertifikasi halal. "Semua sudah, tinggal urus halal saja di Ambon. Beta tengah berkoordinasi dengan orang dari Kemenag Kanwil Maluku. Beta mau MBD punya oleh-oleh dari hasil bumi sendiri," katanya optimistis.