Admin
25 April 2025
KEJAKSAAN NEGERI BLORA
Blora menuju Kabupaten Organik. Pernyataan itu disampaikan Bupati Blora, Arief Rohman, saat menerima kunjungan tim Jawa Pos Radar Bojonegoro di rumah dinasnya, Selasa (22/4). Langkah Mas Bupati itu (panggilan akrab Bupati Arief Rohman) patut diapresiasi. Bupati berlatar belakang santri itu menegaskan bahwa program ini bukan sekadar tren, tapi strategi besar yang menjawab tantangan ketahanan pangan nasional. Saat banyak daerah berlomba mengejar industrialisasi, Blora memilih jalur berkelanjutan dengan mengandalkan kekuatan sektor pertanian.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa penduduk Indonesia pada 2024 telah mencapai lebih dari 280 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan yang terus naik. Artinya, kebutuhan terhadap pangan—baik dari segi kuantitas maupun kualitas—akan terus meningkat. Di sisi lain, kita dihadapkan pada realitas yang mengkhawatirkan: alih fungsi lahan pertanian ke industri dan perumahan, degradasi kesuburan tanah, serta ancaman perubahan iklim yang makin nyata.
Blora, yang memiliki lebih dari 130 ribu hektare lahan pertanian, memiliki potensi besar untuk menjadi pusat produksi pangan organik. Keputusan untuk memulai dari padi organik dengan model demplot minimal 5 hektare di tiap desa adalah langkah konkret yang bisa direplikasi. Bila dihitung secara kasar, dengan 271 desa di Blora (data Kemendagri 2023), potensi awalnya mencapai sekitar 1.355 hektare padi organik.
Apalagi saat ini produksi beras organik produksi asli Blora semakin bermunculan dan terus menunjukkan tren peningkatan. Dan selanjutnya akan merambah ke komoditi lainnya, seperti sayuran organik, palawija organik, buah organik, dst.
Ketahanan pangan selama ini identik dengan peningkatan produksi. Namun, Bupati Arief menawarkan satu langkah lebih maju: bukan hanya cukup makan, tapi makan yang sehat dan aman. Dengan mengusung pangan organik, Blora menjawab isu kesehatan yang selama ini sering terabaikan. Konsumen kini semakin sadar akan bahaya residu pestisida, bahan kimia, dan pengawet dalam makanan.
Pasar organik juga menjanjikan nilai ekonomi tinggi. Laporan dari Organics International (IFOAM) mencatat bahwa permintaan produk organik di dunia meningkat rata-rata 10 persen per tahun. Indonesia sendiri mengalami lonjakan permintaan di pasar kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Maka ketika Bupati menyebut buyer dari Semarang dan Jakarta siap menyerap produk Blora, ini bukan omong kosong, melainkan peluang pasar yang nyata.
Melalui program unggulan ini petani Blora pun berpotensi besar untuk ikut terdongkrak kesejahteraannya. Nilai jual produk pertanian organik secara umum lebih tinggi dibanding pertanian konvensional. Selain karena proses budidayanya lebih sehat, daya saingnya pun masih rendah sehingga petani tidak harus bersaing dalam pasar yang padat. Dengan catatan: pasar harus jelas. Inilah yang sedang diupayakan oleh Pemkab Blora, membuka akses dan jejaring agar produk organik petani Blora terserap oleh pasar-pasar potensial secara konsisten.
Blora bukan tanpa tantangan. Wilayah ini bukan daerah industri besar, infrastruktur belum sekuat kota besar, dan investasi modern masih terbatas. Namun justru karena itu, pertanian adalah pilihan logis. Data dari Dinas Pertanian Blora menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen penduduknya bergantung pada sektor pertanian, baik sebagai petani langsung maupun pekerja agroindustri.
Dengan menggandeng mitra strategis seperti PT Petrokimia untuk penyediaan pupuk organik, serta adanya dukungan pasar, Blora menunjukkan bahwa pembangunan tidak harus mengikuti jejak industrialisasi. Blora mengembangkan jati dirinya sendiri: sebagai penghasil pangan sehat dan berdaya saing tinggi.
Langkah Blora menuju Kabupaten Organik adalah pilihan bijak yang visioner. Ia bukan hanya menjawab kebutuhan lokal, tapi juga menjawab tantangan nasional dan global. Saat dunia mencari sistem pangan yang berkelanjutan, Blora hadir sebagai contoh nyata dari daerah yang berani berinovasi dalam kesederhanaan.